Senin, 27 November 2017

Manisnya Perbedaan: Masjid-ku dan Altar-mu (3)

Dia ngirim foto. Ganteng sekali dalam balutan kemeja hitam lengan panjang dan celana jeans warna coklat muda. Di belakangnya ada lambang kayu salib berukuran besar, sangat gagah dan bercahaya. Picunday, katanya. Ya, kala itu hari Minggu, hari di mana dia berlutut di depan altar.

Meski gue nggak beribadah ke gereja, tapi gue seneng banget tiap lihat dia pergi ke gereja. Gue merasa cowo yang masih pegang sisi religiusnya adalah cowo yang keren. Gue pandangi foto itu berkali-kali, lalu gue merasakan seolah-olah gue ada di sana dan merinding merasakan kegagahan Tuhan.

Lama gue berpikir, apakah hubungan ini salah, apakah gue harus berhenti, apakah gue akan sakit hati lagi dan bla bla bla. Tapi akhirnya gue dapat satu kesimpulan: Perasaan nggak pernah salah. Perasaan itu datangnya dari hati. Dan siapa yang berkuasa untuk membolak-balikkan hati manusia kalau bukan Tuhan? Intinya Tuhan yang menanamkan perasaan cinta di hati manusia. Selanjutnya Tuhan memberi kebebasan pada manusia untuk me-manage rasa cinta tersebut. Jadi final decision tetap ada di gue, gue mau lanjutin ya mangga, enggak ya mangga.

“Selembar daun saja tidak akan jatuh dari pohonnya, jika bukan dengan seizin Allah. Lalu bagaimana jika yang jatuh adalah hati? Sudah pasti itu karena kehendak Yang Maha Kuasa: Allah-ku, Tuhan Allah-mu.”

Saat itu pemikiran gue bahkan menjadi sangat liberal. Gue hanya memikirkan bagaimana cara untuk bisa survive sama dia. Istiqlal dan Katedral aja bisa berdampingan dengan harmonis. Bodo amat, kami emang beda, tapi kami punya Tuhan dan kami punya doa. Entah nanti doa dia duluan yang didengar, atau doa gue. Kalau doa dia duluan yang sampai ke langit, berarti gue nanti yang akan mengikuti keyakinan dia. Entah gimana caranya, kalau kami masih barengan ya berarti kami harus memuliakan Tuhan dengan cara yang sama. Segitu jauhnya gue berpikir padahal saat itu baru awal. Bukan karena gue beneran udah serius banget atau gue kebelet dinikahin, tapi gue cuma ingin membuat standar, membuat sebuah goal, karena menurut gue segala sesuatu emang harus ada goal nya, biar jelas arah kita untuk melangkah.

By the way, mengenal dia membuat gue merasakan betapa manisnya perbedaan. Saat dia mengingatkan gue untuk sholat. Saat dia menggoda gue, mau membatalkan wudhu gue. Saat dia melihat dalam diam waktu gue sedang sholat. Saat gue membangunkan dia untuk pergi ke gereja. Saat dia bercerita sedang berada di dalam gereja, lalu berbagi foto altar. Saat dia men-skip acara malam minggu karena pelayanan di gereja haha. Di situ ada rasa bahagia untuk saling mengingatkan dalam ibadah. Ada rasa senang karena gue banyak mempelajari hal yang baru tentang sisi religius pemeluk agama lain. Gue juga bangga pada diri gue sendiri, atas toleransi yang telah gue berikan sepenuh hati pada pasangan gue.  

Apapun perbedaan yang gue dan dia jalanin kemarin, sampai sekarang gue masih menganggapnya sebagai sesuatu yang indah. Terlepas dari gue udah nggak barengan sama dia lagi sekarang ini, gue tetap berterimakasih atas apa yang Tuhan dan dia kasih ke gue kemarin. Gue bangga hidup di Indonesia. Gue bersyukur bisa ketemu sama banyak orang dari suku yang beda. Dan gue bersyukur Tuhan kenalkan gue sama orang yang memuliakan Tuhan dengan cara yang berbeda pula. Gue syukuri itu semua, because difference is sweet, and there’s so much things in life to smile about.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar