Dia ngirim foto. Ganteng
sekali dalam balutan kemeja hitam lengan panjang dan celana jeans warna coklat
muda. Di belakangnya ada lambang kayu salib berukuran besar, sangat gagah dan
bercahaya. Picunday, katanya. Ya,
kala itu hari Minggu, hari di mana dia berlutut di depan altar.
Meski gue nggak beribadah
ke gereja, tapi gue seneng banget tiap lihat dia pergi ke gereja. Gue merasa
cowo yang masih pegang sisi religiusnya adalah cowo yang keren. Gue pandangi
foto itu berkali-kali, lalu gue merasakan seolah-olah gue ada di sana dan merinding
merasakan kegagahan Tuhan.
Lama gue berpikir, apakah
hubungan ini salah, apakah gue harus berhenti, apakah gue akan sakit hati lagi
dan bla bla bla. Tapi akhirnya gue dapat satu kesimpulan: Perasaan nggak pernah
salah. Perasaan itu datangnya dari hati. Dan siapa yang berkuasa untuk
membolak-balikkan hati manusia kalau bukan Tuhan? Intinya Tuhan yang menanamkan
perasaan cinta di hati manusia. Selanjutnya Tuhan memberi kebebasan pada
manusia untuk me-manage rasa cinta
tersebut. Jadi final decision tetap
ada di gue, gue mau lanjutin ya mangga,
enggak ya mangga.
“Selembar daun saja tidak akan jatuh
dari pohonnya, jika bukan dengan seizin Allah. Lalu bagaimana jika yang jatuh
adalah hati? Sudah pasti itu karena kehendak Yang Maha Kuasa: Allah-ku, Tuhan
Allah-mu.”
Saat itu pemikiran gue bahkan
menjadi sangat liberal. Gue hanya memikirkan bagaimana cara untuk bisa survive sama dia. Istiqlal dan Katedral
aja bisa berdampingan dengan harmonis. Bodo amat, kami emang beda, tapi kami
punya Tuhan dan kami punya doa. Entah nanti doa dia duluan yang didengar, atau
doa gue. Kalau doa dia duluan yang sampai ke langit, berarti gue nanti yang akan
mengikuti keyakinan dia. Entah gimana caranya, kalau kami masih barengan ya
berarti kami harus memuliakan Tuhan dengan cara yang sama. Segitu jauhnya gue
berpikir padahal saat itu baru awal. Bukan karena gue beneran udah serius
banget atau gue kebelet dinikahin, tapi gue cuma ingin membuat standar, membuat
sebuah goal, karena menurut gue segala
sesuatu emang harus ada goal nya,
biar jelas arah kita untuk melangkah.
By
the way, mengenal dia membuat gue merasakan betapa manisnya
perbedaan. Saat dia mengingatkan gue untuk sholat. Saat dia menggoda gue, mau
membatalkan wudhu gue. Saat dia melihat dalam diam waktu gue sedang sholat.
Saat gue membangunkan dia untuk pergi ke gereja. Saat dia bercerita sedang
berada di dalam gereja, lalu berbagi foto altar. Saat dia men-skip acara malam minggu karena pelayanan
di gereja haha. Di situ ada rasa bahagia untuk saling mengingatkan dalam
ibadah. Ada rasa senang karena gue banyak mempelajari hal yang baru tentang
sisi religius pemeluk agama lain. Gue juga bangga pada diri gue sendiri, atas
toleransi yang telah gue berikan sepenuh hati pada pasangan gue.
Apapun perbedaan yang gue
dan dia jalanin kemarin, sampai sekarang gue masih menganggapnya sebagai
sesuatu yang indah. Terlepas dari gue udah nggak barengan sama dia lagi
sekarang ini, gue tetap berterimakasih atas apa yang Tuhan dan dia kasih ke gue
kemarin. Gue bangga hidup di Indonesia. Gue bersyukur bisa ketemu sama banyak
orang dari suku yang beda. Dan gue bersyukur Tuhan kenalkan gue sama orang yang
memuliakan Tuhan dengan cara yang berbeda pula. Gue syukuri itu semua, because difference is sweet, and there’s so much things
in life to smile about.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar