Tidak sengaja, ketika surfing di dunia maya, saya
menemukan sebuah pesan “Hati-hati sebelum berumah tangga. Persiapkan segala
sesuatu, termasuk kelak, kamu akan dipanggil apa.” Wah, pesan ini nyambung
sekali dengan apa yang sering saya pikirkan. Saya sering bingung memilih
panggilan apa yang cocok untuk saya dan suami saya kelak ketika kami sudah
punya anak. Eeeh, bukan berarti saya sudah bersuami lho. Saya masih single
fighter. Saya juga bukannya mau berumah tangga dalam waktu dekat. Bukaaan!
Calonnya saja saya belum punya.hahaha.
Mungkin yang menjadikan saya begitu peduli soal panggilan orang
tua adalah keluarga saya. Dari kecil, saya diajarkan memanggil orang tua saya
dengan Bapak dan Ibu. Keluarga besar saya pun begitu. Pakdhe, Budhe, Om, dan
Bulik saya juga mengajarkan hal yang serupa. Mereka juga menyuruh anak-anaknya
memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Ibu. Menurut mereka, panggilan Bapak
dan Ibu terkesan lebih bersahaja. Lagipula kami hidup di lingkungan Jawa, yang
masih menggunakan bahasa krama dalam keseharian, jadi ya panggilan Bapak dan
Ibu terasa lebih pas. Selain itu, panggilan Bapak dan Ibu juga diambil dari
bahasa asli Indonesia, tidak ada unsur kebarat-baratan. Jadi lebih cinta tanah
air gitu lho!
Nah, saya sering sekali mengamati panggilan-panggilan yang
digunakan anak untuk menyapa orang tua mereka. Bagi saya, panggilan itu begitu
penting karena sedikit banyak dapat menunjukkan karakter dan status sosial
sebuah keluarga. Misalnya saja ada yang dipanggil Daddy. Kebanyakan
yang dipanggil Daddy adalah orang-orang bule atau orang yang tinggal di
gedongan. Nggak mungkin kan, kalau yang dipanggil Daddy itu adalah orang
kampung yang tinggal di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya menggunakan
bahasa Jawa? Bisa-bisa jadi bahan guyonan nanti.
Yang seringkali menggelitik pendengaran saya adalah panggilan yang
tidak sesuai dengan status sosial keluarga itu sendiri. Kedengaran lucu kan,
kalau Papa lagi macul, atau Mama lagi ngangsu? Menurut
saya sih lucu, tidak pas. Ada lagi yang juga menggelitik, yaitu panggilan yang
tidak serasi. Ada yang panggil Ayah dan Mamah, Papa dan Bunda, ada juga yang
manggil Romo dan Mami. Menurut saya kedengarannya aneh, seakan-akan orang tua
bukan satu kesatuan lagi, melainkan dua orang berbeda jarak dan berbeda
pemikiran, tetapi masih tinggal serumah. Itu cuma pendapat saya sih, tulisan
ini juga murni pendapat saya, tidak ada keinginan untuk mendiskreditkan pihak
mana pun.
Saya pribadi, ingin dipanggil Ibu. Biarlah orang-orang modern
menganggap saya jadul, tetapi saya merasa panggilan Ibu adalah yang paling
berwibawa dan paling keren. Lagipula, Mr. Right juga memanggil ortunya dengan
sebutan Ibu dan Bapak. (Lho, kok nyambungnya ke situ lagi sih?). Oke, kembali
ke masalah panggilan. Awalnya saya kepingin dipanggil Bunda, sedangkan suami
saya dipanggil Ayah. Namun, setelah dipikir-pikir, apa saya pantas dipanggil
Bunda? Menurut saya, Bunda identik dengan wanita kalem, halus, dan sabar.
Sedangkan saya? Hoho. Rasanya jauh dari sifat-sifat tersebut. Kalau untuk suami
saya nanti, ada dua opsi yang saya berikan, Ayah atau Bapak. Kok jadi saya yang
menentukan yah? Hehe.
Ah, masa depan, masa depan. Kenapa akhir-akhir ini saya sering
memikirkannya? Tetapi, sekali-kali nggak apa-apa lah ya, memikirkan rencana
masa depan. Toh suatu saat kita akan mengalaminya. Ya kan ?