Rabu, 29 November 2017

Konflik: Third Person (5)

Lagi-lagi gue dan dia harus terpisah jarak, dan pertemuan menjadi sesuatu yang mahal. Tapi bukan jarak semata yang jadi biangnya. Masalah terbesar justru ada pada dia. Hasrat untuk bertemu yang dulu menggebu-gebu sekarang menguap entah ke mana...gue nggak tau hasratnya menguap ke mana.

“Laki-laki. Pagi ingin. Siang ingin banget. Sore dapat. Malamnya lupa. Apakah semua laki-laki seperti itu?”

Saat itu gue menjadi pihak yang always ngemis-ngemis everyday, minta dia buat ngasih waktunya. Dari sore gue minta dia datang nyamper, dia bilang oke, gue tungguin sampai ketiduran, waktu gue kebangun gue liat hape dan chat gue belum dibaca. Tidur gue jadi nggak nyenyak, berasa tidur ayam. Jam dua pagi gue dengar line bunyi, ternyata dari dia. Niat hati pengen bales chat tapi hape gue malah jatuh dari ranjang. Mata gue nggak bisa diajak kompromi, ending-nya gue merem lagi. Subuh baru gue bales chat dia, dan itu baru berbalas lagi setelah siaaaang. Dan kamu tau apa isi chat nya di dini hari itu? dia cuma bilang “udh tdr? ak d warnet ini”. Pengen gue banting rasanya. Tapi nggak tau mau ngebanting apaan.

Akhirnya di pagi buta gue pulang ke rumah. Gue cuma ngabarin via chat kalau gue mau balik, lalu gue tuliskan “let’s see kita akan berakhir kayak gimana”. Chat gue itu berbales agak cepet. Dia said sorry dan nyuruh gue buat sabar. Oke. S a b a r. Selanjutnya pertanyaan dia seputar siapa yang nganter gue pulang, naik apa, sampai mana dan kenapa telat ngabarin padahal udah sampe rumah sejam yang lalu. Pada fase ini dia keliatan lebih baik dari sebelumnya sih. Lebih perhatian meski cuma via sosmed. Gue seneng karena pembicaraan kami mulai mengarah ke masa depan. Tentang apa yang bakal kami lakukan setelah wisuda, tentang cari kerja di kota yang sama, sedikit tentang menikah, tentang gue yang pengen banget melihat kampung halamannya, tanah kelahirannya. Tentang gue yang nggak ingin dia jauh dari gue. Tentang dia yang nyemangatin gue, kalo gue harus sanggup menyusul dia kemana pun dia pergi. Pada tahap ini gue mulai memahami, meski dia terlihat santai di luar, tapi di dalamnya sungguh ada jiwa yang bertanggung jawab. Gue udah melihat prosesnya selama dia kuliah dan skripsi. Gue juga melihat dari bagaimana dia bersikap ke gue. Dia nggak suka kalau gue menggampangkan sesuatu, apalagi sampai mengulur sesuatu. Ya kadang gitu sih, kalau otaknya lagi lurus haha.

Hal-hal baik itu ternyata nggak berlangsung lama. Tiba-tiba suatu hari di pagi yang masih dingin gue dapet berita dari temen gue, kalau dia flirting ke cewe lain. Sempat kaget sih, soalnya temen gue itu nggak tahu menahu soal hubungan gue, dan sebelumnya gue sama temen gue nggak bahas si Abang sama sekali. Fyi, temen gue itu cowok, jadi nggak mungkin lah gue rumpi rumpita sama dia. Gue dikasih screen capture gitu foto seorang cewe dan chattingan antara si Abang sama cewe itu. Hmmm gue menghela nafas dan mencoba merespon temen gue senormal mungkin. Lalu muncul fakta-fakta yang belakangan baru gue ketahui, tentang mantan-mantan si Abang yang nggak pernah diceritain ke gue, tentang cewe-cewe yang rela bunuh-bunuhan demi dapetin dia, tentang track record si Abang yang emang nggak mulus (tapi nggak akan gue bahas di sini). Banyak lah yang bikin gue makin ragu dan bertanya-tanya “Who is he?”

Pada pertemuan yang selanjutnya, gue sama sekali nggak mau ngomong sama dia. Gue kangen, tapi gue sebel. Oke gue sadar, gue bukan cewe baik-baik. Masa lalu gue juga nggak mulus. Tapi gue berani bertaruh kalau gue ini setia. Sekali gue said yes kepada seorang cowo, gue bakal setia sama cowo itu. kalau gue mau udahan ya gue tinggal minta bubaran. Selesai. No selingkuh selingkuh club. Tapi untuk perkara si Abang ini, gue beneran masih meragukan tingkat kesetiaannya. Sangat meragukan.

Gue meminta penjelasan, lalu dia menjawab dengan sangat politis. Oke, gue nggak mau mikir panjang, gue biarin aja dia seperti itu. Gue pun akhirnya kembali ke kebiasaan awal gue untuk rajin bergaul dengan makhluk-makhluk yang beda kelamin sama gue. Gue pergi sama cowo tanpa aturan. Gue lakuin sepuas-puas hati gue dan gue publish semua itu di sosmed. Gue capek, sendirian dan kesepian. I wanna show him kalau gue bisa survive tanpa dia. Tapi pada akhirnya gue nggak bisa bohongin hati gue sendiri. Gue bisa pergi sama puluhan cowo seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada satu cowo. Dan gue seringkali nggak bisa nahan diri duluan untuk nge–chat dia. Hubungan kami pun menjadi biasa kembali. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
   
“Gue bisa pergi sama puluhan cowo seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada satu cowo.”

Masalah muncul lagi ketika dia mengunggah story bersama seorang cewe, yang katanya sih juniornya, but I dont know who she really is. Dan ngunggahnya bukan cuma sekali sehingga semua orang menyerbu dia dengan komentar yang ngarah kalo dia jadian sama cewe itu. Oke. Lalu gue bilang ke dia,”Kalau lo ada pandangan ke cewe lain atau lo udah bosen sama gue, please bilang. Serius, gue nggak apa-apa. Lo datang baik-baik, gue harap lo juga bakal pergi secara baik-baik, kalo memang lo menginginkan.” Gue udah ngomong begitu berkali-kali namun dia kasih isyarat yang menolak penawaran gue. Gue itu orangnya gampang banget luluh. Tiap dia bilang maaf, rasanya tembok yang gue bangun itu runtuh. Emosi gue langsung ilang entah gimana. Ya begitu aja terus sampai tiang listrik mengaku kalau ia ditabrak fortuner. Gue tuh bimbang sangat. Merasa hidup segan mati pun tak mau. Gantung gitu lah. Hingga akhirnya gue sadar...gue harus tanya langsung ke Tuhan. Ya, gue harus klarifikasi ini semua ke Tuhan....       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar