Jarak. Distance. Terkadang jarak membuat apa
yang sudah tertata rapi menjadi berantakan kembali. Dan gue merasakannya...
Hubungan kami baik-baik saja
saat itu. Sampai akhirnya gue pergi untuk urusan studi yang emang nggak bisa
ditunda. Gue bilang cuma butuh waktu sekian minggu, tapi ternyata gue pergi
lebih lama daripada itu. Terakhir ketemu dia masih nganter gue ke terminal,
masih berkabar, masih upload tentang
gue, masih bilang kangen, masih nyuruh gue cepet balik dan lain sebagainya. Gue
pikir jarak nggak akan secepat itu mengubah sesuatu yang manis menjadi getir.
Tapi ternyata gue salah.
Gue menjadi sangat galau.
Gue banyak bertanya, siapa dia sebenarnya. Perkenalan yang singkat membuat gue nggak
banyak tahu tentang dia dan apa yang sebenarnya dia inginkan dari gue. But I still trying to believe him. Gue
percaya kalo dia gak mendua. Gue sangat percaya itu. Dia pergi menghabiskan
waktu untuk nge-game dan nongkrong
sama temen-temennya. Oke. Gue tau semua itu, kerena dia selalu ngabarin gue.
Tapi tetep aja gue nggak bisa terima kenapa dia nggak punya banyak waktu buat
gue. Apakah dia udah terlalu nyaman tanpa gue? Apakah sudah bosan? Apakah dia
cuma mempermainkan gue?
Hingga akhirnya pada satu
waktu, gue bisa ketemu dia. Bisa disebut quality
time kami setelah sekian lama. Seperti biasa, sampai di kosan gue dia
langsung menuju kasur gue yang empuk, melanjutkan tidurnya yang terhenti karena
sebelumnya gue telfon-telfon maksa hehe. Gue sadar, gue kangen banget sama dia.
Gue duduk di samping dia. Gue sibakkan rambutnya yang mulai alay because of jambulnya yang ketinggian.
Gue tatap matanya yang terpejam. Gue tatap bulu mata badainya yang lentik itu.
Sambil masih memejamkan mata dia bilang “Yuk ngomong.” Pengen gue jitak
kepalanya. Masa gue disuruh bacot padahal dia masih merem. Lalu gue rebahan di
samping dia, mainin handphone, kesel!
Segitu berkorbannya dia buat dota. Segitu hebatnya dota sampai dia memilih
nggak tidur padahal mukanya udah mirip zombie!
Dia seperti menangkap
kegundahan hati gue. Sambil merem dia usaplah wajah gue, romantis sekali hingga
gue memang luluh seluluh-luluhnya. Kami ngobrolin banyak hal sampai akhirnya
gue bilang,”Who are you, stranger? I don’t
know who you are. I’m trying to believe in you but I can’t. Are you trying to
hide something from me?” Raut wajahnya seketika berubah. Di luar dugaan,
dia bilang “Kau pikir kau itu nggak stanger
apa buat aku. Kau pikir aku percaya sama kau? Enggak! Kau pikir aku percaya sama temen-temen cowo kau itu? dan percaya
kalian gak main gila?” Sejujurnya gue
ketakutan saat itu. gue merasa membawa pembicaraan ke arah yang salah sehingga
dia, tipikal orang Sumatra tulen, berkata segitu frontalnya ke gue. diamemang
nggak sukacewe posessif dan curigaan.
Pelan-pelan gue jelasin kalau gue sebenernya ingin percaya sepenuhnya ke dia,
tapi dia nggak kooperatif karena jarang ngabarin dan terlalu cuek. Lalu dia
bilang,”Ini soal apa? Kalau soal perempuan lain jujur nggak ada. Kalau soal
suka, apa harus aku bilang suka ke kamu setiap hari? Kalau kamu percaya, kasih
aku waktu,”katanya.
Suasana makin panas aja,
menaikkan suhu kamar kosan gue yang aslinya emang udah panas. Setiap gue
ngomong, dia selalu ngebalikin kata-kata itu ke gue, and swear it felt like a sword, dan gue yang udah kesayat-sayat ini
akhirnya nangis. It was first time in my
life gue nangis di hadapan cowo. Gue pegang tangannya dan gue nangis. Mungkin
kalau temen kos gue tau gue nangis, saat itu mereka bakal bawain bencong yang
biasa ngamen di daerah kampus buat menghibur gue. Asli malu banget lah gue udah
nangis macam drakor. Tapi apa daya gue nggak punya senjata lagi dan gua gak
bisa nahan lagi. Lalu si abang bilang,”Lho malah nangis. Aku belum bilang ya kalau
aku nggak suka cewe nangis.” Aku hapus air mataku. “Nangis aja sepuasnya. Tapi
besok jangan lagi.” “Sorry, aku minta
maaf ya,”katanya.
Sejam selanjutnya kami
mencoba menetralkan suasana dengan ngomongin urusan kampus, temen, dan
urusan-urusan lain yang no baper
baper. Lalu dia ngomong,”Kasih aku definisi yang jelas. Kita mau ke mana? Mau
serius sampai nikah?” Gue nganggepnya itu pertanyaan sampah dari dia, sekedar
gombal aja. Tapi sekarang gue sadar kalau tiap hubungan harus ada goal nya, dan itu harus jelas. Lalu sambil
senyum gue jawab,”Kamu bilang sama aku. Kita mau nikah di mana dan gimana? Mau
di Istiqlal atau Katedral?” Dia diem. Bener-bener diem seribu bahasa. “Kita
menjalani aja, Bang. Aku cuma minta 2 hal: kita stay in one way and care each other.” He understand.
Sebelum pulang dia bilang sorry lagi ke gue, kali ini sambil
memeluk gue. Gue lega banget rasanya, meskipun ada rasa bersalah karena udah
nyusahin dia dengan air mata dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak mutu. Dia
tawarkan ke gue untuk join sama dia
dan temen-temennya di warnet, biar bisa quality
time katanya. Tapi menurut gue itu adalah ide yang malesin banget, jadi gue
nolak haha. Sebagai gantinya gue kasih dia sebuket snack, buat nemenin dia nge-dota. Di dalamnya gue tuliskan tuh dalam
secarik kertas penggalan lirik lagu One
Day in Your Life-nya Michael Jackson: You’ll
remember the love you find here. You’ll remember me somehow.”
Penggalan lirik lagu MJ
itu memang mewakili perasaan dan pikiran gue. Gue udah berusaha sebaik mungkin
agar jarak dan waktu nggak menghalangi gue survive
sama dia. Gue juga udah redam gejolak emosi gue karena gue nggak ingin saling
menyakiti. Tapi balik lagi, semua yang terjadi dalam hidup ini nggak bisa gue
atur semau gue. Gue nggak tahu apa yang bakal Tuhan perbuat ke gue. Tapi
intinya selama gue bisa melakukan hal yang baik untuk si dia, biarlah gue
lakukan semampu gue. Apapun yang terjadi, gue pengen kelak dia selalu mengingat
hal-hal baik tentang gue.
You’ll
remember me, somehow. I love you...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar