Senin, 27 November 2017

Konflik: You'll Remember Me (4)

Jarak. Distance. Terkadang jarak membuat apa yang sudah tertata rapi menjadi berantakan kembali. Dan gue merasakannya...

Hubungan kami baik-baik saja saat itu. Sampai akhirnya gue pergi untuk urusan studi yang emang nggak bisa ditunda. Gue bilang cuma butuh waktu sekian minggu, tapi ternyata gue pergi lebih lama daripada itu. Terakhir ketemu dia masih nganter gue ke terminal, masih berkabar, masih upload tentang gue, masih bilang kangen, masih nyuruh gue cepet balik dan lain sebagainya. Gue pikir jarak nggak akan secepat itu mengubah sesuatu yang manis menjadi getir. Tapi ternyata gue salah.

Gue menjadi sangat galau. Gue banyak bertanya, siapa dia sebenarnya. Perkenalan yang singkat membuat gue nggak banyak tahu tentang dia dan apa yang sebenarnya dia inginkan dari gue. But I still trying to believe him. Gue percaya kalo dia gak mendua. Gue sangat percaya itu. Dia pergi menghabiskan waktu untuk nge-game dan nongkrong sama temen-temennya. Oke. Gue tau semua itu, kerena dia selalu ngabarin gue. Tapi tetep aja gue nggak bisa terima kenapa dia nggak punya banyak waktu buat gue. Apakah dia udah terlalu nyaman tanpa gue? Apakah sudah bosan? Apakah dia cuma mempermainkan gue?

Hingga akhirnya pada satu waktu, gue bisa ketemu dia. Bisa disebut quality time kami setelah sekian lama. Seperti biasa, sampai di kosan gue dia langsung menuju kasur gue yang empuk, melanjutkan tidurnya yang terhenti karena sebelumnya gue telfon-telfon maksa hehe. Gue sadar, gue kangen banget sama dia. Gue duduk di samping dia. Gue sibakkan rambutnya yang mulai alay because of jambulnya yang ketinggian. Gue tatap matanya yang terpejam. Gue tatap bulu mata badainya yang lentik itu. Sambil masih memejamkan mata dia bilang “Yuk ngomong.” Pengen gue jitak kepalanya. Masa gue disuruh bacot padahal dia masih merem. Lalu gue rebahan di samping dia, mainin handphone, kesel! Segitu berkorbannya dia buat dota. Segitu hebatnya dota sampai dia memilih nggak tidur padahal mukanya udah mirip zombie!

Dia seperti menangkap kegundahan hati gue. Sambil merem dia usaplah wajah gue, romantis sekali hingga gue memang luluh seluluh-luluhnya. Kami ngobrolin banyak hal sampai akhirnya gue bilang,”Who are you, stranger? I don’t know who you are. I’m trying to believe in you but I can’t. Are you trying to hide something from me?” Raut wajahnya seketika berubah. Di luar dugaan, dia bilang “Kau pikir kau itu nggak stanger apa buat aku. Kau pikir aku percaya sama kau? Enggak! Kau pikir aku  percaya sama temen-temen cowo kau itu? dan percaya kalian gak main gila?Sejujurnya gue ketakutan saat itu. gue merasa membawa pembicaraan ke arah yang salah sehingga dia, tipikal orang Sumatra tulen, berkata segitu frontalnya ke gue. diamemang nggak sukacewe posessif dan curigaan. Pelan-pelan gue jelasin kalau gue sebenernya ingin percaya sepenuhnya ke dia, tapi dia nggak kooperatif karena jarang ngabarin dan terlalu cuek. Lalu dia bilang,”Ini soal apa? Kalau soal perempuan lain jujur nggak ada. Kalau soal suka, apa harus aku bilang suka ke kamu setiap hari? Kalau kamu percaya, kasih aku waktu,”katanya.   

Suasana makin panas aja, menaikkan suhu kamar kosan gue yang aslinya emang udah panas. Setiap gue ngomong, dia selalu ngebalikin kata-kata itu ke gue, and swear it felt like a sword, dan gue yang udah kesayat-sayat ini akhirnya nangis. It was first time in my life gue nangis di hadapan cowo. Gue pegang tangannya dan gue nangis. Mungkin kalau temen kos gue tau gue nangis, saat itu mereka bakal bawain bencong yang biasa ngamen di daerah kampus buat menghibur gue. Asli malu banget lah gue udah nangis macam drakor. Tapi apa daya gue nggak punya senjata lagi dan gua gak bisa nahan lagi. Lalu si abang bilang,”Lho malah nangis. Aku belum bilang ya kalau aku nggak suka cewe nangis.” Aku hapus air mataku. “Nangis aja sepuasnya. Tapi besok jangan lagi.” “Sorry, aku minta maaf ya,”katanya.

Sejam selanjutnya kami mencoba menetralkan suasana dengan ngomongin urusan kampus, temen, dan urusan-urusan lain yang no baper baper. Lalu dia ngomong,”Kasih aku definisi yang jelas. Kita mau ke mana? Mau serius sampai nikah?” Gue nganggepnya itu pertanyaan sampah dari dia, sekedar gombal aja. Tapi sekarang gue sadar kalau tiap hubungan harus ada goal nya, dan itu harus jelas. Lalu sambil senyum gue jawab,”Kamu bilang sama aku. Kita mau nikah di mana dan gimana? Mau di Istiqlal atau Katedral?” Dia diem. Bener-bener diem seribu bahasa. “Kita menjalani aja, Bang. Aku cuma minta 2 hal: kita stay in one way and care each other.” He understand.

Sebelum pulang dia bilang sorry lagi ke gue, kali ini sambil memeluk gue. Gue lega banget rasanya, meskipun ada rasa bersalah karena udah nyusahin dia dengan air mata dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak mutu. Dia tawarkan ke gue untuk join sama dia dan temen-temennya di warnet, biar bisa quality time katanya. Tapi menurut gue itu adalah ide yang malesin banget, jadi gue nolak haha. Sebagai gantinya gue kasih dia sebuket snack, buat nemenin dia nge-dota. Di dalamnya gue tuliskan tuh dalam secarik kertas penggalan lirik lagu One Day in Your Life-nya Michael Jackson: You’ll remember the love you find here. You’ll remember me somehow.”

Penggalan lirik lagu MJ itu memang mewakili perasaan dan pikiran gue. Gue udah berusaha sebaik mungkin agar jarak dan waktu nggak menghalangi gue survive sama dia. Gue juga udah redam gejolak emosi gue karena gue nggak ingin saling menyakiti. Tapi balik lagi, semua yang terjadi dalam hidup ini nggak bisa gue atur semau gue. Gue nggak tahu apa yang bakal Tuhan perbuat ke gue. Tapi intinya selama gue bisa melakukan hal yang baik untuk si dia, biarlah gue lakukan semampu gue. Apapun yang terjadi, gue pengen kelak dia selalu mengingat hal-hal baik tentang gue.


You’ll remember me, somehow. I love you...   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar