Jumat, 14 Juni 2013

Waspada

Setelah seminggu menderita sariawan, akhirnya sore ini gue putuskan untuk pergi ke dokter.  Sebenernya gue bukan tipe  orang yang dikit-dikit sakit langsung ke dokter, tetapi karena pertimbangan gue besok Selasa mau test masuk PTN dan karena pengelupasan di bibir gue ini sudah dikatakan abnormal, jadi gue pikir gue harus periksa ke dokter.

And you know what? Ternyata penyakit gue sudah masuk dalam kategori parah. Asam lambung gue banyak. Dan kata dokternya bukan hanya mulut aja yang sariawan, tapi dari tenggorokan sampai lambung juga sariawan semua. Speechles gue dengernya.

Lalu gue mulai berpikir, apakah penyebabnya? Gue makan teratur, nggak sering makan pedas, nggak suka makan mie instan, terus apa dong? Kata Budhe sih karena faktor stress. Emmm…mungkin juga, soalnya emang ini lagi masa-masa mendekati test.

Satu hal yang gue sesali adalah karena gue tidak aware terhadap penyakit yang menjangkiti diri gue. Sudah seminggu gue sariawan dan bibir mengelupas parah, tapi gue masih aja keukeuh mengobati dengan obat warung. Dan tralala…endingnya jadi seperti ini.

Jadi, dari kejadian ini kita itu sebaiknya segera pergi ke dokter kalau kita merasa ada yang nggak beres sama diri kita. Kita nggak berhak mendiagnosis parah atau enggaknya penyakit kita derita, karena kita memang bukan ahlinya (kecuali kalau kamu dokter).

Seandainya semua orang rajin memeriksakan dirinya, mungkin kematian karena penyakit kanker bisa ditekan karena masih dalam tahap dini. Kebanyakan orang baru memeriksakan diri ke dokter kalau gejalanya sudah parah. Padahal kalau gejala sudah seperti itu, dapat dipastikan kalau kanker sudah memasuki stadium lanjut dan semakin sulit pengobatannya.

Sekian dulu postingan kali ini. Intinya waspadalah terhadap segala penyakit yang menyerang, jika sudah ada indikasi tidak baik pada tubuh, segeralah mengunjungi dokter. 


Senin, 25 Maret 2013

Papa atau Bapak? Mama atau Ibu?

Tidak sengaja, ketika surfing di dunia maya, saya menemukan sebuah pesan “Hati-hati sebelum berumah tangga. Persiapkan segala sesuatu, termasuk kelak, kamu akan dipanggil apa.” Wah, pesan ini nyambung sekali dengan apa yang sering saya pikirkan. Saya sering bingung memilih panggilan apa yang cocok untuk saya dan suami saya kelak ketika kami sudah punya anak. Eeeh, bukan berarti saya sudah bersuami lho. Saya masih single fighter. Saya juga bukannya mau berumah tangga dalam waktu dekat. Bukaaan! Calonnya saja saya belum punya.hahaha.

Mungkin yang menjadikan saya begitu peduli soal panggilan orang tua adalah keluarga saya. Dari kecil, saya diajarkan memanggil orang tua saya dengan Bapak dan Ibu. Keluarga besar saya pun begitu. Pakdhe, Budhe, Om, dan Bulik saya juga mengajarkan hal yang serupa. Mereka juga menyuruh anak-anaknya memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Ibu. Menurut mereka, panggilan Bapak dan Ibu terkesan lebih bersahaja. Lagipula kami hidup di lingkungan Jawa, yang masih menggunakan bahasa krama dalam keseharian, jadi ya panggilan Bapak dan Ibu terasa lebih pas. Selain itu, panggilan Bapak dan Ibu juga diambil dari bahasa asli Indonesia, tidak ada unsur kebarat-baratan. Jadi lebih cinta tanah air gitu lho!

Nah, saya sering sekali mengamati panggilan-panggilan yang digunakan anak untuk menyapa orang tua mereka. Bagi saya, panggilan itu begitu penting karena sedikit banyak dapat menunjukkan karakter dan status sosial sebuah keluarga. Misalnya saja ada yang dipanggil Daddy.  Kebanyakan yang dipanggil Daddy adalah orang-orang bule atau orang yang tinggal di gedongan. Nggak mungkin kan, kalau yang dipanggil Daddy itu adalah orang kampung yang tinggal di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa? Bisa-bisa jadi bahan guyonan nanti. 

Yang seringkali menggelitik pendengaran saya adalah panggilan yang tidak sesuai dengan status sosial keluarga itu sendiri. Kedengaran lucu kan, kalau Papa lagi macul, atau Mama lagi ngangsu? Menurut saya sih lucu, tidak pas. Ada lagi yang juga menggelitik, yaitu panggilan yang tidak serasi. Ada yang panggil Ayah dan Mamah, Papa dan Bunda, ada juga yang manggil Romo dan Mami. Menurut saya kedengarannya aneh, seakan-akan orang tua bukan satu kesatuan lagi, melainkan dua orang berbeda jarak dan berbeda pemikiran, tetapi masih tinggal serumah. Itu cuma pendapat saya sih, tulisan ini juga murni pendapat saya, tidak ada keinginan untuk mendiskreditkan pihak mana pun.

Saya pribadi, ingin dipanggil Ibu. Biarlah orang-orang modern menganggap saya jadul, tetapi saya merasa panggilan Ibu adalah yang paling berwibawa dan paling keren. Lagipula, Mr. Right juga memanggil ortunya dengan sebutan Ibu dan Bapak. (Lho, kok nyambungnya ke situ lagi sih?). Oke, kembali ke masalah panggilan. Awalnya saya kepingin dipanggil Bunda, sedangkan suami saya dipanggil Ayah. Namun, setelah dipikir-pikir, apa saya pantas dipanggil Bunda? Menurut saya, Bunda identik dengan wanita kalem, halus, dan sabar. Sedangkan saya? Hoho. Rasanya jauh dari sifat-sifat tersebut. Kalau untuk suami saya nanti, ada dua opsi yang saya berikan, Ayah atau Bapak. Kok jadi saya yang menentukan yah? Hehe.

Ah, masa depan, masa depan. Kenapa akhir-akhir ini saya sering memikirkannya? Tetapi, sekali-kali nggak apa-apa lah ya, memikirkan rencana masa depan. Toh suatu saat kita akan mengalaminya. Ya kan ?

Jumat, 22 Maret 2013

My First Surgery

Operasi. Dulu gue ngeri kalau membayangkan kata-kata itu. Tapi sekarang nggak ngeri-ngeri banget sih, karena gue udah pernah mengalami. Yup, bulan Oktober tahun lalu gue menjalani operasi pengangkatan amandel. Bukan operasi besar sih, tapi ya, yang namanya operasi  prosedurnya hampir sama. Harus puasa sebelum dan sesudahnya, dan tentu saja efeknya pasti SAKIT. Ya iyalah sakit, daging manusia kok dipotong-potong!


Oke, back to operasi ya. Kenapa gue sampai operasi ? Penyebabnya karena amandel gue udah membesar segede telur puyuh. Celakanya, amandel yang udah mengganjal tenggorokan gue itu mengalami abses, sehingga menyebabkan penderitaan yang tidak terhingga. Hoho. Efek kalau udah kena abses amandel adalah pusing yang tiada terkira, demam, lemah, lesu, letih, dan nafsu makan ilang. Pokoknya menyiksa. Kalau pas sakit gue ada di rumah sih nggak masalah, bisa jadi ratu dan bermanja-manja. Nah, itu gue sakitnya di perantauan, di tempat yang nggak tepat pulak !


Kenapa operasinya nggak dari dulu ? Kenapa nunggu sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ? Jawabannya adalah karena saran dokter. Dokter bilang belum perlu dioperasi, karena belum berbahaya. Lagipula sebelumnya gue nggak pernah sakit meskipun aktivitas gue lebih dari sekedar padat. Asalkan nggak minum es, nggak mengonsumsi yang banyak pengawet, semuanya akan baik-baik saja. Disamping itu, gue emang takut juga dioperasi. Hehe


Trus, kenapa bisa sakit? Kebanyakan minum es? Kebanyakan pengawet? Jawabannya adalah bisa jadi. Namanya juga di perantauan, makan ya nggak bisa selektif, apa yang ada itulah yang dimakan. Waktu buat tidur aja minim, apalagi buat mikirin urusan perut. Faktor penyebab yang kedua adalah tekanan batin karena gue samaa sekali nggak bahagia dengan hidup gue saat itu. Percayalah bahwa stress bisa memicu penyakit. Makanya, kalau Anda ingin sakit, lebih baik Anda merasa stress dahulu.


Lalu bagaimana prosedur operasinya ? Pagi masuk rumah sakit dan bikin janji operasi sama dokternya. Rencananya operasi dilakukan pukul tujuh malam harinya. Sebelum operasi, gue disuruh melepas atribut yang melekat pada tubuh gue, dan gue cuma pakai daster operasi warna putih dan penutup kepala berwarna hijau. Setelah itu, didoronglah gue menuju ruang operasi. Awalnya gue sempet nervous, takut. Tetapi setelah gue tanya ke susternya,”Sus, nanti pakai anestesi lokal atau anestesi total?” setelah Si Suster jawab.” Pake anestesi total, Mbak.” Hati gue jadi lega bukan main. Biarlah para dokter itu mengoyak-oyak tubuhku asalkan pada prosesnya gue nggak merasakan sakkit. Hoho.


Gue masuk ruang operasi setengah tujuh. Satu dokter sudah stand by, namun yang satunya belum, jadi harus nunggu dokter yang satunya lagi. Lama banget gue nunggu, hampir satu jam. Bete banget kan? Mana ruang operasinya nggak nyaman. Gue disuruh tidur di dipan tinggi yang sempit, di atas gue ada lampu-lampu operasi yang seakan-akan mau menimpa wajah gue, dan parahnya suhu ruangan dingin banget. Gue tahu, kalau suhu yang dingin itu bertujuan agar kuman nggak gampang berkembang, tapi kalau dingin banget kayak gitu bisa-bisa gue hipotermia duluan sebelum operasi.   


Akhirnya pukul delapan kurang seperempat, dokter kedua pun datang. Usut punya usut ternyata dokter itu lupa kalau ada jadwal operasi. Sebelumnya, si dokter malah enak-enakan jalan-jalan di Paragon Solo. Sungguh terlalu !
Berhubung udah bete, gue jadi nggak ngebayangin lagi gimana proses operasinya. Justru gue malah excited banget mau dibius. Gue pengen tahu rasanya dibius kayak gimana. Ternyata rasanya itu, sesuatu banget. Awalnya pandangan biasa aja, lalu satu tingkat menjadi lebih gelap, daaan sekali kamu memejamkan mata, maka dijamin tidak akan bisa bangun.


Sejam kemudian operasi selesai. Gue yang masih ngantuk berat dipaksa batuk sama sesuatu alat gitu. Alhasil gue batuk darah yang merembes sampai ke hidung. After that, gue didorong lagi menuju ruang perawatan. Gue sih sebenernya udah sadar, tapi berhubung masih ngantuk berat dan biar menimbulkan efek yang dramatisir layaknya sinetron, gue merem aja terus, biar orang-orang di sekitar gue lebih iba melihat gue. Hehe. Semalaman setelah operasi itu, gue sama sekali nggak bisa tidur. Rasanya panaaas banget. Dan gue juga udah mulai ngerasain sakit. Padahal kan udah dipasang infus pereda rasa sakit. Gue pun mulai curiga dengan isi infus yang tak kunjung berkurang. Ibu gue panggil suster, tapi kata suster itu emang kayak begitu, tetes infusnya emang sengaja dibikin lambat. Berhubung nggak puas, esok paginya gue nanya lagi ke suster. Ternyata....infus anestesi-nya itu emang nggak jalan. Pantesan Sakit! SAKIT you know !


Jam tujuh pagi gue udah boleh minum dan makan bubur. Tapi berhubung tenggorokan gue rasanya aneh, kayak ada sesuatu yang lepas gitu, jadinya gue nggak bisa makan, karena sekali makan gue tersedak. Akhirnya gue cuma minum dan minum. 


Sekitar jam sepuluh gue boleh pulang. Belum teras efek sakit apapun. Mungkin karena sebelum pulang gue disuntik macem-macem ya, yang gue yakin salah satu diantaranya ada pereda rasa sakit. Baru keesokan harinya, gue merasakan sakit yang begitu menyakitkan di tenggorokan gue. Tiap sakit, gue minum es. Dan sakit itu gue rasakan sampai sekitar sebulan. Baru setelah sebulan itu gue udah bener-bener nggak ngerasain sakit lagi. Bisa bayangkan betapa kurusnya gue saat itu? Hampir sebulan cuma makan bubur. Untung aja setelah itu gue nggak benci bubur.


Apapun yang terjadi, gue yakin semua ada hikmahnya. Sekarang gue udah bisa minum es lagi, meskipun buat jaga-jaga gue batasi jumlah konsumsinya. Bahagia rasanya bisa makan apapun yang gue suka. 


Terimakasih buat Dr. Made Setiamika yang sudah menangani jalannya operasi, buat Mas Perawat yang cakep-cakep dan Mbak Perawat yang humoris, juga buat seluruh staff Rumah Sakit Dr.Oen Solo yang sudah membuat suasana Rumah Sakit seperti hotel buat saya.hehe. Oh ya, makasih juga lho, buat temen-temen AGB B yang langsung nengokin begitu gue pulang dari Hospital. Thanks a lot
Amandel yang telah di-eksekusi
Teman teman AGB B