Rabu, 29 November 2017

Konflik: Third Person (5)

Lagi-lagi gue dan dia harus terpisah jarak, dan pertemuan menjadi sesuatu yang mahal. Tapi bukan jarak semata yang jadi biangnya. Masalah terbesar justru ada pada dia. Hasrat untuk bertemu yang dulu menggebu-gebu sekarang menguap entah ke mana...gue nggak tau hasratnya menguap ke mana.

“Laki-laki. Pagi ingin. Siang ingin banget. Sore dapat. Malamnya lupa. Apakah semua laki-laki seperti itu?”

Saat itu gue menjadi pihak yang always ngemis-ngemis everyday, minta dia buat ngasih waktunya. Dari sore gue minta dia datang nyamper, dia bilang oke, gue tungguin sampai ketiduran, waktu gue kebangun gue liat hape dan chat gue belum dibaca. Tidur gue jadi nggak nyenyak, berasa tidur ayam. Jam dua pagi gue dengar line bunyi, ternyata dari dia. Niat hati pengen bales chat tapi hape gue malah jatuh dari ranjang. Mata gue nggak bisa diajak kompromi, ending-nya gue merem lagi. Subuh baru gue bales chat dia, dan itu baru berbalas lagi setelah siaaaang. Dan kamu tau apa isi chat nya di dini hari itu? dia cuma bilang “udh tdr? ak d warnet ini”. Pengen gue banting rasanya. Tapi nggak tau mau ngebanting apaan.

Akhirnya di pagi buta gue pulang ke rumah. Gue cuma ngabarin via chat kalau gue mau balik, lalu gue tuliskan “let’s see kita akan berakhir kayak gimana”. Chat gue itu berbales agak cepet. Dia said sorry dan nyuruh gue buat sabar. Oke. S a b a r. Selanjutnya pertanyaan dia seputar siapa yang nganter gue pulang, naik apa, sampai mana dan kenapa telat ngabarin padahal udah sampe rumah sejam yang lalu. Pada fase ini dia keliatan lebih baik dari sebelumnya sih. Lebih perhatian meski cuma via sosmed. Gue seneng karena pembicaraan kami mulai mengarah ke masa depan. Tentang apa yang bakal kami lakukan setelah wisuda, tentang cari kerja di kota yang sama, sedikit tentang menikah, tentang gue yang pengen banget melihat kampung halamannya, tanah kelahirannya. Tentang gue yang nggak ingin dia jauh dari gue. Tentang dia yang nyemangatin gue, kalo gue harus sanggup menyusul dia kemana pun dia pergi. Pada tahap ini gue mulai memahami, meski dia terlihat santai di luar, tapi di dalamnya sungguh ada jiwa yang bertanggung jawab. Gue udah melihat prosesnya selama dia kuliah dan skripsi. Gue juga melihat dari bagaimana dia bersikap ke gue. Dia nggak suka kalau gue menggampangkan sesuatu, apalagi sampai mengulur sesuatu. Ya kadang gitu sih, kalau otaknya lagi lurus haha.

Hal-hal baik itu ternyata nggak berlangsung lama. Tiba-tiba suatu hari di pagi yang masih dingin gue dapet berita dari temen gue, kalau dia flirting ke cewe lain. Sempat kaget sih, soalnya temen gue itu nggak tahu menahu soal hubungan gue, dan sebelumnya gue sama temen gue nggak bahas si Abang sama sekali. Fyi, temen gue itu cowok, jadi nggak mungkin lah gue rumpi rumpita sama dia. Gue dikasih screen capture gitu foto seorang cewe dan chattingan antara si Abang sama cewe itu. Hmmm gue menghela nafas dan mencoba merespon temen gue senormal mungkin. Lalu muncul fakta-fakta yang belakangan baru gue ketahui, tentang mantan-mantan si Abang yang nggak pernah diceritain ke gue, tentang cewe-cewe yang rela bunuh-bunuhan demi dapetin dia, tentang track record si Abang yang emang nggak mulus (tapi nggak akan gue bahas di sini). Banyak lah yang bikin gue makin ragu dan bertanya-tanya “Who is he?”

Pada pertemuan yang selanjutnya, gue sama sekali nggak mau ngomong sama dia. Gue kangen, tapi gue sebel. Oke gue sadar, gue bukan cewe baik-baik. Masa lalu gue juga nggak mulus. Tapi gue berani bertaruh kalau gue ini setia. Sekali gue said yes kepada seorang cowo, gue bakal setia sama cowo itu. kalau gue mau udahan ya gue tinggal minta bubaran. Selesai. No selingkuh selingkuh club. Tapi untuk perkara si Abang ini, gue beneran masih meragukan tingkat kesetiaannya. Sangat meragukan.

Gue meminta penjelasan, lalu dia menjawab dengan sangat politis. Oke, gue nggak mau mikir panjang, gue biarin aja dia seperti itu. Gue pun akhirnya kembali ke kebiasaan awal gue untuk rajin bergaul dengan makhluk-makhluk yang beda kelamin sama gue. Gue pergi sama cowo tanpa aturan. Gue lakuin sepuas-puas hati gue dan gue publish semua itu di sosmed. Gue capek, sendirian dan kesepian. I wanna show him kalau gue bisa survive tanpa dia. Tapi pada akhirnya gue nggak bisa bohongin hati gue sendiri. Gue bisa pergi sama puluhan cowo seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada satu cowo. Dan gue seringkali nggak bisa nahan diri duluan untuk nge–chat dia. Hubungan kami pun menjadi biasa kembali. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
   
“Gue bisa pergi sama puluhan cowo seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada satu cowo.”

Masalah muncul lagi ketika dia mengunggah story bersama seorang cewe, yang katanya sih juniornya, but I dont know who she really is. Dan ngunggahnya bukan cuma sekali sehingga semua orang menyerbu dia dengan komentar yang ngarah kalo dia jadian sama cewe itu. Oke. Lalu gue bilang ke dia,”Kalau lo ada pandangan ke cewe lain atau lo udah bosen sama gue, please bilang. Serius, gue nggak apa-apa. Lo datang baik-baik, gue harap lo juga bakal pergi secara baik-baik, kalo memang lo menginginkan.” Gue udah ngomong begitu berkali-kali namun dia kasih isyarat yang menolak penawaran gue. Gue itu orangnya gampang banget luluh. Tiap dia bilang maaf, rasanya tembok yang gue bangun itu runtuh. Emosi gue langsung ilang entah gimana. Ya begitu aja terus sampai tiang listrik mengaku kalau ia ditabrak fortuner. Gue tuh bimbang sangat. Merasa hidup segan mati pun tak mau. Gantung gitu lah. Hingga akhirnya gue sadar...gue harus tanya langsung ke Tuhan. Ya, gue harus klarifikasi ini semua ke Tuhan....       

Senin, 27 November 2017

Konflik: You'll Remember Me (4)

Jarak. Distance. Terkadang jarak membuat apa yang sudah tertata rapi menjadi berantakan kembali. Dan gue merasakannya...

Hubungan kami baik-baik saja saat itu. Sampai akhirnya gue pergi untuk urusan studi yang emang nggak bisa ditunda. Gue bilang cuma butuh waktu sekian minggu, tapi ternyata gue pergi lebih lama daripada itu. Terakhir ketemu dia masih nganter gue ke terminal, masih berkabar, masih upload tentang gue, masih bilang kangen, masih nyuruh gue cepet balik dan lain sebagainya. Gue pikir jarak nggak akan secepat itu mengubah sesuatu yang manis menjadi getir. Tapi ternyata gue salah.

Gue menjadi sangat galau. Gue banyak bertanya, siapa dia sebenarnya. Perkenalan yang singkat membuat gue nggak banyak tahu tentang dia dan apa yang sebenarnya dia inginkan dari gue. But I still trying to believe him. Gue percaya kalo dia gak mendua. Gue sangat percaya itu. Dia pergi menghabiskan waktu untuk nge-game dan nongkrong sama temen-temennya. Oke. Gue tau semua itu, kerena dia selalu ngabarin gue. Tapi tetep aja gue nggak bisa terima kenapa dia nggak punya banyak waktu buat gue. Apakah dia udah terlalu nyaman tanpa gue? Apakah sudah bosan? Apakah dia cuma mempermainkan gue?

Hingga akhirnya pada satu waktu, gue bisa ketemu dia. Bisa disebut quality time kami setelah sekian lama. Seperti biasa, sampai di kosan gue dia langsung menuju kasur gue yang empuk, melanjutkan tidurnya yang terhenti karena sebelumnya gue telfon-telfon maksa hehe. Gue sadar, gue kangen banget sama dia. Gue duduk di samping dia. Gue sibakkan rambutnya yang mulai alay because of jambulnya yang ketinggian. Gue tatap matanya yang terpejam. Gue tatap bulu mata badainya yang lentik itu. Sambil masih memejamkan mata dia bilang “Yuk ngomong.” Pengen gue jitak kepalanya. Masa gue disuruh bacot padahal dia masih merem. Lalu gue rebahan di samping dia, mainin handphone, kesel! Segitu berkorbannya dia buat dota. Segitu hebatnya dota sampai dia memilih nggak tidur padahal mukanya udah mirip zombie!

Dia seperti menangkap kegundahan hati gue. Sambil merem dia usaplah wajah gue, romantis sekali hingga gue memang luluh seluluh-luluhnya. Kami ngobrolin banyak hal sampai akhirnya gue bilang,”Who are you, stranger? I don’t know who you are. I’m trying to believe in you but I can’t. Are you trying to hide something from me?” Raut wajahnya seketika berubah. Di luar dugaan, dia bilang “Kau pikir kau itu nggak stanger apa buat aku. Kau pikir aku percaya sama kau? Enggak! Kau pikir aku  percaya sama temen-temen cowo kau itu? dan percaya kalian gak main gila?Sejujurnya gue ketakutan saat itu. gue merasa membawa pembicaraan ke arah yang salah sehingga dia, tipikal orang Sumatra tulen, berkata segitu frontalnya ke gue. diamemang nggak sukacewe posessif dan curigaan. Pelan-pelan gue jelasin kalau gue sebenernya ingin percaya sepenuhnya ke dia, tapi dia nggak kooperatif karena jarang ngabarin dan terlalu cuek. Lalu dia bilang,”Ini soal apa? Kalau soal perempuan lain jujur nggak ada. Kalau soal suka, apa harus aku bilang suka ke kamu setiap hari? Kalau kamu percaya, kasih aku waktu,”katanya.   

Suasana makin panas aja, menaikkan suhu kamar kosan gue yang aslinya emang udah panas. Setiap gue ngomong, dia selalu ngebalikin kata-kata itu ke gue, and swear it felt like a sword, dan gue yang udah kesayat-sayat ini akhirnya nangis. It was first time in my life gue nangis di hadapan cowo. Gue pegang tangannya dan gue nangis. Mungkin kalau temen kos gue tau gue nangis, saat itu mereka bakal bawain bencong yang biasa ngamen di daerah kampus buat menghibur gue. Asli malu banget lah gue udah nangis macam drakor. Tapi apa daya gue nggak punya senjata lagi dan gua gak bisa nahan lagi. Lalu si abang bilang,”Lho malah nangis. Aku belum bilang ya kalau aku nggak suka cewe nangis.” Aku hapus air mataku. “Nangis aja sepuasnya. Tapi besok jangan lagi.” “Sorry, aku minta maaf ya,”katanya.

Sejam selanjutnya kami mencoba menetralkan suasana dengan ngomongin urusan kampus, temen, dan urusan-urusan lain yang no baper baper. Lalu dia ngomong,”Kasih aku definisi yang jelas. Kita mau ke mana? Mau serius sampai nikah?” Gue nganggepnya itu pertanyaan sampah dari dia, sekedar gombal aja. Tapi sekarang gue sadar kalau tiap hubungan harus ada goal nya, dan itu harus jelas. Lalu sambil senyum gue jawab,”Kamu bilang sama aku. Kita mau nikah di mana dan gimana? Mau di Istiqlal atau Katedral?” Dia diem. Bener-bener diem seribu bahasa. “Kita menjalani aja, Bang. Aku cuma minta 2 hal: kita stay in one way and care each other.” He understand.

Sebelum pulang dia bilang sorry lagi ke gue, kali ini sambil memeluk gue. Gue lega banget rasanya, meskipun ada rasa bersalah karena udah nyusahin dia dengan air mata dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak mutu. Dia tawarkan ke gue untuk join sama dia dan temen-temennya di warnet, biar bisa quality time katanya. Tapi menurut gue itu adalah ide yang malesin banget, jadi gue nolak haha. Sebagai gantinya gue kasih dia sebuket snack, buat nemenin dia nge-dota. Di dalamnya gue tuliskan tuh dalam secarik kertas penggalan lirik lagu One Day in Your Life-nya Michael Jackson: You’ll remember the love you find here. You’ll remember me somehow.”

Penggalan lirik lagu MJ itu memang mewakili perasaan dan pikiran gue. Gue udah berusaha sebaik mungkin agar jarak dan waktu nggak menghalangi gue survive sama dia. Gue juga udah redam gejolak emosi gue karena gue nggak ingin saling menyakiti. Tapi balik lagi, semua yang terjadi dalam hidup ini nggak bisa gue atur semau gue. Gue nggak tahu apa yang bakal Tuhan perbuat ke gue. Tapi intinya selama gue bisa melakukan hal yang baik untuk si dia, biarlah gue lakukan semampu gue. Apapun yang terjadi, gue pengen kelak dia selalu mengingat hal-hal baik tentang gue.


You’ll remember me, somehow. I love you...   

Manisnya Perbedaan: Masjid-ku dan Altar-mu (3)

Dia ngirim foto. Ganteng sekali dalam balutan kemeja hitam lengan panjang dan celana jeans warna coklat muda. Di belakangnya ada lambang kayu salib berukuran besar, sangat gagah dan bercahaya. Picunday, katanya. Ya, kala itu hari Minggu, hari di mana dia berlutut di depan altar.

Meski gue nggak beribadah ke gereja, tapi gue seneng banget tiap lihat dia pergi ke gereja. Gue merasa cowo yang masih pegang sisi religiusnya adalah cowo yang keren. Gue pandangi foto itu berkali-kali, lalu gue merasakan seolah-olah gue ada di sana dan merinding merasakan kegagahan Tuhan.

Lama gue berpikir, apakah hubungan ini salah, apakah gue harus berhenti, apakah gue akan sakit hati lagi dan bla bla bla. Tapi akhirnya gue dapat satu kesimpulan: Perasaan nggak pernah salah. Perasaan itu datangnya dari hati. Dan siapa yang berkuasa untuk membolak-balikkan hati manusia kalau bukan Tuhan? Intinya Tuhan yang menanamkan perasaan cinta di hati manusia. Selanjutnya Tuhan memberi kebebasan pada manusia untuk me-manage rasa cinta tersebut. Jadi final decision tetap ada di gue, gue mau lanjutin ya mangga, enggak ya mangga.

“Selembar daun saja tidak akan jatuh dari pohonnya, jika bukan dengan seizin Allah. Lalu bagaimana jika yang jatuh adalah hati? Sudah pasti itu karena kehendak Yang Maha Kuasa: Allah-ku, Tuhan Allah-mu.”

Saat itu pemikiran gue bahkan menjadi sangat liberal. Gue hanya memikirkan bagaimana cara untuk bisa survive sama dia. Istiqlal dan Katedral aja bisa berdampingan dengan harmonis. Bodo amat, kami emang beda, tapi kami punya Tuhan dan kami punya doa. Entah nanti doa dia duluan yang didengar, atau doa gue. Kalau doa dia duluan yang sampai ke langit, berarti gue nanti yang akan mengikuti keyakinan dia. Entah gimana caranya, kalau kami masih barengan ya berarti kami harus memuliakan Tuhan dengan cara yang sama. Segitu jauhnya gue berpikir padahal saat itu baru awal. Bukan karena gue beneran udah serius banget atau gue kebelet dinikahin, tapi gue cuma ingin membuat standar, membuat sebuah goal, karena menurut gue segala sesuatu emang harus ada goal nya, biar jelas arah kita untuk melangkah.

By the way, mengenal dia membuat gue merasakan betapa manisnya perbedaan. Saat dia mengingatkan gue untuk sholat. Saat dia menggoda gue, mau membatalkan wudhu gue. Saat dia melihat dalam diam waktu gue sedang sholat. Saat gue membangunkan dia untuk pergi ke gereja. Saat dia bercerita sedang berada di dalam gereja, lalu berbagi foto altar. Saat dia men-skip acara malam minggu karena pelayanan di gereja haha. Di situ ada rasa bahagia untuk saling mengingatkan dalam ibadah. Ada rasa senang karena gue banyak mempelajari hal yang baru tentang sisi religius pemeluk agama lain. Gue juga bangga pada diri gue sendiri, atas toleransi yang telah gue berikan sepenuh hati pada pasangan gue.  

Apapun perbedaan yang gue dan dia jalanin kemarin, sampai sekarang gue masih menganggapnya sebagai sesuatu yang indah. Terlepas dari gue udah nggak barengan sama dia lagi sekarang ini, gue tetap berterimakasih atas apa yang Tuhan dan dia kasih ke gue kemarin. Gue bangga hidup di Indonesia. Gue bersyukur bisa ketemu sama banyak orang dari suku yang beda. Dan gue bersyukur Tuhan kenalkan gue sama orang yang memuliakan Tuhan dengan cara yang berbeda pula. Gue syukuri itu semua, because difference is sweet, and there’s so much things in life to smile about.       

Minggu, 26 November 2017

Aku, Dia, dan Kisah yang Manis (2)

Gue masih ngerasa hubungan gue sama dia ini cuma mimpi. Mimpi yang terlampau manis. Perkenalan yang singkat, keakraban dan perasaan yang mengalir begitu saja...

Gue lagi dengerin lagu Lucky nya Jason Mraz ft Colby saat doi udah nyampe depan kamar gue. Di tangannya ada kantong kresek, isinya ma super favorite food, sate padang! Gue sok cool aja pas dia datang. Gue pikir bakal lama kan dia di kosan gue. Tapi ternyata dia cuma transit dan keburu mau pergi. Gue agak kesel sih, tapi meleleh juga saat tau dia bela-belain ninggalin temennya di tempat sate demi nganterin satenya dulu ke kosan gue. Entah takut gue kelaperan, entah takut gue kena anorexia karena saat itu gue udah kurus banget haha. Asli waktu itu gue kurus banget, cuma 42 atau 43 kg gitu, padahal tinggi gue ya standar, 155 cm. Ya gitu lah efek tekanan batin karena menuntut ilmu tiada akhir.

Lo pernah ngerasain nggak sih saat lo beneran falling in love. Lo sama dia cuma diam, saling menatap, senyum, tapi hati lo rasanya nggak karuan. Gue malam itu ngerasain. Gue lihat wajah dia kocak abis, nyenengin, dan malam itu gue beneran baru sadar kalo dia itu termasuk ganteng. Padahal mah kata orang, dia udah ganteng parah dari lahir haha. Saat dia udah di atas motor dan mau pergi, dia masih sempet memandang gue yang masih berdiri tegak di balkon. Gue bilang,”Sampe ketemu besok pagiiiii. Bangun pagi lu! Anterin gue ke terminal, anterin gue makan, anterin gue bla bla bla.” Tiba-tiba gue menjadi bahagia menemukan “sopir” baru heheu.

Kalau malam hari gue jadi susah tidur. Kebayang-bayang yang indah-indah. Sampai gue teringat kata-kata seorang sahabat gue. Sohib gue itu notabene nya single sejak lahir sampesekarang, tapi petuah cintanya oke juga. Jadi waktu itu, sohib gue bilang tentang si doi,” Eh hati-hati lho sama itu cowo. Tatapannya tatapan mencintai.” Langsung aja gue bilang kalo sohib gue itu sok tau dan gila haha. Lebay aja mendengar kata-kata “tatapan mencintai”, lagian saat itu si doi cuma ngajak salaman dan ngobrol basa-basi. Hmmm but now I know that I’m totally wrong. Sohib gue itu ternyata lebih pinter membaca karakter orang dibanding gue.
Hari-hari gue sama si doi berlanjut dengan manis. Gue sama dia emang nggak go public. Gue pikir buat apa terlalu mengexpose sebuah hubungan. Gue jarang suka sama orang. Gue jarang pacaran. Dan saat gue punya pacar pun gue nggak berminat untuk showing up ke orang-orang tentang kebersamaan gue sama pacar. Kenapa? Karena pacaran dilarang agama (haha sok alim mode on). Biarlah hanya Tuhan, gue, dia, dan teman-teman dekat aja yang tahu tentang aku dan dia. Sesekali gue curi-curi upload di instagram story sih, sesekali aja. Itu aja udah memancing kekepoan ratusan netizen. Belum lagi melihat gue dan doi jalan barengan di kampus, wah tambah kepo lagi netizen jaman now. Tapi sejujurnya gue nggak nyangka lho bakalan banyak yang kepo sama gue dan doi. Gue ngerasa bukan siapa-siapa yang bakal memicu kekepoan orang. Gue mah apa atuh cuma serbuk Milo. Cuma ya ternyata belakangan ini gue tau kalo orang ternyata banyak juga yang kepo. Thanks banget bagi yang udah bersedia ngepoin yaaa. I luv u all!

Oke gue sudahi ya cerita gue tentang yang manis-manis itu. Pembaca yang udah pernah menjalani hubungan sama cowo sudah pasti mengerti rasanya lah ya. By the way, meski udah ngerasain manis-manis bahagia, gue nggak sepenuhnya lega. Jauh di dalam sana, banyak kekhawatiran yang gue rasain. Gue takut kehilangan dia. Gue takut esok hari gue nggak bisa ngambil hatinya lagi. Gue takut besok dia pergi jauh. Gue takut akan banyak hal. Tapi yang paling bikin gue galau adalah tentang iman kami yang beda. Gue jadi banyak bertanya ke Tuhan. Why? Why? And why?  

Awal Bertemu (1)

Gue ketemu dia tanggal 4 bulan 9 tahun ini. Sebelumnya sempet kenal, cuma nggak lebih dari say hi dan obrolan basa-basi. Tanggal 4 kala itu adalah hari Senin. Monster day dimana gue sedang berpusing-pusing mengejar dosen untuk konfirmasi jadwal sidang skripsi.

Gue datang ke kampus sendirian, seperti layaknya jomblo pada umumnya. Dengan muka sangat kucel gue nunggu dosen di depan ruang jurusan. Lagi bengong, tiba-tiba ada yang ngajak ngobrol. Cowo berbaju hitam yang menurut gue nggak begitu famous di dunia perkampusan haha. Awalnya gue nanggepin dia biasa aja. Mana sempet otak gue mikirin dan scanning cowo sedangkan sidang skripsi udah di depan mata. Lama ngobrol, ternyata cowo itu asik juga. Dia lucu, bego, ngeselin, suka ngerjain orang, tapi overall gue suka gayanya.

Singkat cerita gue dan dia berlanjut setelah momen itu. Mulai dari acara pulang bareng, nemenin ngurus syarat sidang bareng, beli ini itu bareng sampai akhirnya dia menyambangi kosan gue. Berhubung gue udah sering banget bergaul sama cowo dan temen-temen gue kebanyakan adalah cowo, jadi gue ngerasa biasa aja saat gue dan dia udah dalam tahap seakrab itu. Awalnya gue nggak ada pikiran untuk jadiin dia pacar ataupun gebetan atau ttm atau apapun itu lah, whatever you named it. Lagian kan there is a great wall between us because we walk in different path of God. Ribet amat yak haha. Intinya gue sama dia beda agama.

Tetapi sekeras apa pun gue nolak, gue nggak bisa ngelawan semesta. Di situ gue lihat gimana tangan Tuhan mulai bekerja untuk membolak-balikkan hati gue, mungkin hati dia juga. Sampai pada suatu hari, tepat setalah dia menyelesaikan sidang skripsinya, dia berdiri di depan pintu kosan gue. Dia bilang kecewa karena gue nggak dampingin dia pas kelar sidang skripsi. Dia bilang dia nunggu gue 2 jam di kampus, berharap gue dateng. Di situ gue ngerasa kaget, ngerasa bersalah, tapi ngerasa seneng juga karena gue ngerasa gue jadi orang penting buat dia.

Gue minta maaf. Berkali kali gue minta maaf dan gue jelasin kalau gue nggak bisa dateng karena alasan-alasan tertentu. Lalu gue kasih lah ke dia sebuah lukisan wajah, kado sidang yang udah gue pesen jauh-jauh hari. Raut wajah dia langsung beda, “Ini doang? Ini gue bukan sih kok mukanya nggak mirip?”. Haha meski omongannya gitu tapi gue lihat dia seneng, gue ikut seneng.

Waktu beranjak sore. Gue duduk di kursi gue, nyanyi-nyanyi nggak jelas. Aslinya gue bingung mau ngapain, hati gue deg-deg an parah. Dia tiduran di kasur gue, mainan handphone. Sampai akhirnya dia bilang “Susah banget lo dikode!” terus gue bilang “Gue nggak ngerti. Gue nggak ngerti tujuan lo ke sini. Gue juga nggak ngerti lo orang baik atau jahat!”. Suasana mendadak jadi nggak jelas.

Lalu gue tiduran persis di sebelah dia. “Lo suka ama gue?” Dia senyum. Sambil masih tiduran dia pegang tangan kiri gue “Aku mau kau,” katanya lirih. Gue bingung mau ngapain. It was like a dream. Gue berpikir keras. Gue rasa, kalo gue akhirnya jalanin hubungan sama dia, bakalan sad ending karena kami udah lulus dan kemungkinan bentar lagi gue sama dia bakalan pisah entah kemana buat nyari kerjaan. “Sorry. Kita kayaknya terlalu cepet,” kata gue. Dia mundur, dan di situ suasana jadi canggung. “Apa lo kayak gini ke semua cowo. Lo bikin mereka baper, lalu lo biarin mereka begitu aja.” Gue diem. Gue masih mikir keras. Apakah gue sejahat itu.      

Lalu gue ngerasa nggak bisa bohongin diri gue sendiri. Gue nggak suka ada kebohongan. Gue genggam balik tangannya. “I’m so sorry. To be honest, aku juga ngerasain hal yang sama. I want you too.” Lalu dia senyum. Gue lihat harapan dan kelegaan di matanya. Dia peluk gue. Cium gue. Dan gue ngerasain ribuan kupu-kupu memenuhi rongga perut gue...

“Lebih baik kita nggak berteman, kalo kamu anggap aku cuma teman.” Gue seneng banget denger kata-kata itu. Air mata gue hampir meleleh waktu dia beranjak pulang. Bahagia J