Lagi-lagi gue dan dia
harus terpisah jarak, dan pertemuan menjadi sesuatu yang mahal. Tapi bukan
jarak semata yang jadi biangnya. Masalah terbesar justru ada pada dia. Hasrat
untuk bertemu yang dulu menggebu-gebu sekarang menguap entah ke mana...gue
nggak tau hasratnya menguap ke mana.
“Laki-laki. Pagi ingin. Siang ingin
banget. Sore dapat. Malamnya lupa. Apakah semua laki-laki seperti itu?”
Saat itu gue menjadi pihak
yang always ngemis-ngemis everyday, minta dia buat ngasih
waktunya. Dari sore gue minta dia datang nyamper, dia bilang oke, gue tungguin
sampai ketiduran, waktu gue kebangun gue liat hape dan chat gue belum dibaca. Tidur gue jadi nggak nyenyak,
berasa tidur ayam. Jam dua pagi gue dengar line
bunyi, ternyata dari dia. Niat hati pengen bales chat tapi hape gue malah jatuh dari ranjang. Mata gue nggak bisa
diajak kompromi, ending-nya gue merem
lagi. Subuh baru gue bales chat dia,
dan itu baru berbalas lagi setelah siaaaang. Dan kamu tau apa isi chat nya di dini hari itu? dia cuma
bilang “udh tdr? ak d warnet ini”. Pengen gue banting rasanya. Tapi nggak tau
mau ngebanting apaan.
Akhirnya di pagi buta gue
pulang ke rumah. Gue cuma ngabarin via
chat kalau gue mau balik, lalu gue
tuliskan “let’s see kita akan
berakhir kayak gimana”. Chat gue itu berbales agak cepet. Dia said sorry dan nyuruh gue buat sabar.
Oke. S a b a r. Selanjutnya pertanyaan dia seputar siapa yang nganter gue
pulang, naik apa, sampai mana dan kenapa telat ngabarin padahal udah sampe
rumah sejam yang lalu. Pada fase ini dia keliatan lebih baik dari sebelumnya
sih. Lebih perhatian meski cuma via
sosmed. Gue seneng karena pembicaraan kami mulai mengarah ke masa depan. Tentang
apa yang bakal kami lakukan setelah wisuda, tentang cari kerja di kota yang
sama, sedikit tentang menikah, tentang gue yang pengen banget melihat kampung
halamannya, tanah kelahirannya. Tentang gue yang nggak ingin dia jauh dari gue.
Tentang dia yang nyemangatin gue, kalo gue harus sanggup menyusul dia kemana pun
dia pergi. Pada tahap ini gue mulai memahami, meski dia terlihat santai di
luar, tapi di dalamnya sungguh ada jiwa yang bertanggung jawab. Gue udah
melihat prosesnya selama dia kuliah dan skripsi. Gue juga melihat dari bagaimana
dia bersikap ke gue. Dia nggak suka kalau gue menggampangkan sesuatu, apalagi
sampai mengulur sesuatu. Ya kadang gitu sih, kalau otaknya lagi lurus haha.
Hal-hal baik itu ternyata
nggak berlangsung lama. Tiba-tiba suatu hari di pagi yang masih dingin gue
dapet berita dari temen gue, kalau dia flirting
ke cewe lain. Sempat kaget sih, soalnya temen gue itu nggak tahu menahu soal
hubungan gue, dan sebelumnya gue sama temen gue nggak bahas si Abang sama sekali.
Fyi, temen gue itu cowok, jadi nggak
mungkin lah gue rumpi rumpita sama dia. Gue dikasih screen capture gitu foto seorang cewe dan chattingan antara si Abang sama cewe itu. Hmmm gue menghela nafas
dan mencoba merespon temen gue senormal mungkin. Lalu muncul fakta-fakta yang
belakangan baru gue ketahui, tentang mantan-mantan si Abang yang nggak pernah diceritain
ke gue, tentang cewe-cewe yang rela bunuh-bunuhan demi dapetin dia, tentang track record si Abang yang emang nggak
mulus (tapi nggak akan gue bahas di sini). Banyak lah yang bikin gue makin ragu
dan bertanya-tanya “Who is he?”
Pada pertemuan yang
selanjutnya, gue sama sekali nggak mau ngomong sama dia. Gue kangen, tapi gue
sebel. Oke gue sadar, gue bukan cewe baik-baik. Masa lalu gue juga nggak mulus.
Tapi gue berani bertaruh kalau gue ini setia. Sekali gue said yes kepada seorang cowo, gue bakal setia sama cowo itu. kalau
gue mau udahan ya gue tinggal minta bubaran. Selesai. No selingkuh selingkuh club. Tapi untuk perkara si Abang ini,
gue beneran masih meragukan tingkat kesetiaannya. Sangat meragukan.
Gue meminta penjelasan,
lalu dia menjawab dengan sangat politis. Oke, gue nggak mau mikir panjang, gue
biarin aja dia seperti itu. Gue pun akhirnya kembali ke kebiasaan awal gue
untuk rajin bergaul dengan makhluk-makhluk yang beda kelamin sama gue. Gue
pergi sama cowo tanpa aturan. Gue lakuin sepuas-puas hati gue dan gue publish semua itu di sosmed. Gue capek,
sendirian dan kesepian. I wanna show him
kalau gue bisa survive tanpa dia. Tapi
pada akhirnya gue nggak bisa bohongin hati gue sendiri. Gue bisa pergi sama
puluhan cowo seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada
satu cowo. Dan gue seringkali nggak bisa nahan diri duluan untuk nge–chat dia. Hubungan kami pun menjadi
biasa kembali. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Gue bisa pergi sama puluhan cowo
seharian. Namun ketika gue akan tidur, dalam pikiran gue hanya ada satu cowo.”
Masalah muncul lagi ketika
dia mengunggah story bersama seorang
cewe, yang katanya sih juniornya, but I
dont know who she really is. Dan ngunggahnya bukan cuma sekali sehingga
semua orang menyerbu dia dengan komentar yang ngarah kalo dia jadian sama cewe
itu. Oke. Lalu gue bilang ke dia,”Kalau lo ada pandangan ke cewe lain atau lo udah
bosen sama gue, please bilang. Serius,
gue nggak apa-apa. Lo datang baik-baik, gue harap lo juga bakal pergi secara
baik-baik, kalo memang lo menginginkan.” Gue udah ngomong begitu berkali-kali
namun dia kasih isyarat yang menolak penawaran gue. Gue itu orangnya gampang
banget luluh. Tiap dia bilang maaf, rasanya tembok yang gue bangun itu runtuh. Emosi
gue langsung ilang entah gimana. Ya begitu aja terus sampai tiang listrik
mengaku kalau ia ditabrak fortuner. Gue tuh bimbang sangat. Merasa hidup segan
mati pun tak mau. Gantung gitu lah. Hingga akhirnya gue sadar...gue harus tanya
langsung ke Tuhan. Ya, gue harus klarifikasi ini semua ke Tuhan....