Senin, 25 Maret 2013

Papa atau Bapak? Mama atau Ibu?

Tidak sengaja, ketika surfing di dunia maya, saya menemukan sebuah pesan “Hati-hati sebelum berumah tangga. Persiapkan segala sesuatu, termasuk kelak, kamu akan dipanggil apa.” Wah, pesan ini nyambung sekali dengan apa yang sering saya pikirkan. Saya sering bingung memilih panggilan apa yang cocok untuk saya dan suami saya kelak ketika kami sudah punya anak. Eeeh, bukan berarti saya sudah bersuami lho. Saya masih single fighter. Saya juga bukannya mau berumah tangga dalam waktu dekat. Bukaaan! Calonnya saja saya belum punya.hahaha.

Mungkin yang menjadikan saya begitu peduli soal panggilan orang tua adalah keluarga saya. Dari kecil, saya diajarkan memanggil orang tua saya dengan Bapak dan Ibu. Keluarga besar saya pun begitu. Pakdhe, Budhe, Om, dan Bulik saya juga mengajarkan hal yang serupa. Mereka juga menyuruh anak-anaknya memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Ibu. Menurut mereka, panggilan Bapak dan Ibu terkesan lebih bersahaja. Lagipula kami hidup di lingkungan Jawa, yang masih menggunakan bahasa krama dalam keseharian, jadi ya panggilan Bapak dan Ibu terasa lebih pas. Selain itu, panggilan Bapak dan Ibu juga diambil dari bahasa asli Indonesia, tidak ada unsur kebarat-baratan. Jadi lebih cinta tanah air gitu lho!

Nah, saya sering sekali mengamati panggilan-panggilan yang digunakan anak untuk menyapa orang tua mereka. Bagi saya, panggilan itu begitu penting karena sedikit banyak dapat menunjukkan karakter dan status sosial sebuah keluarga. Misalnya saja ada yang dipanggil Daddy.  Kebanyakan yang dipanggil Daddy adalah orang-orang bule atau orang yang tinggal di gedongan. Nggak mungkin kan, kalau yang dipanggil Daddy itu adalah orang kampung yang tinggal di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa? Bisa-bisa jadi bahan guyonan nanti. 

Yang seringkali menggelitik pendengaran saya adalah panggilan yang tidak sesuai dengan status sosial keluarga itu sendiri. Kedengaran lucu kan, kalau Papa lagi macul, atau Mama lagi ngangsu? Menurut saya sih lucu, tidak pas. Ada lagi yang juga menggelitik, yaitu panggilan yang tidak serasi. Ada yang panggil Ayah dan Mamah, Papa dan Bunda, ada juga yang manggil Romo dan Mami. Menurut saya kedengarannya aneh, seakan-akan orang tua bukan satu kesatuan lagi, melainkan dua orang berbeda jarak dan berbeda pemikiran, tetapi masih tinggal serumah. Itu cuma pendapat saya sih, tulisan ini juga murni pendapat saya, tidak ada keinginan untuk mendiskreditkan pihak mana pun.

Saya pribadi, ingin dipanggil Ibu. Biarlah orang-orang modern menganggap saya jadul, tetapi saya merasa panggilan Ibu adalah yang paling berwibawa dan paling keren. Lagipula, Mr. Right juga memanggil ortunya dengan sebutan Ibu dan Bapak. (Lho, kok nyambungnya ke situ lagi sih?). Oke, kembali ke masalah panggilan. Awalnya saya kepingin dipanggil Bunda, sedangkan suami saya dipanggil Ayah. Namun, setelah dipikir-pikir, apa saya pantas dipanggil Bunda? Menurut saya, Bunda identik dengan wanita kalem, halus, dan sabar. Sedangkan saya? Hoho. Rasanya jauh dari sifat-sifat tersebut. Kalau untuk suami saya nanti, ada dua opsi yang saya berikan, Ayah atau Bapak. Kok jadi saya yang menentukan yah? Hehe.

Ah, masa depan, masa depan. Kenapa akhir-akhir ini saya sering memikirkannya? Tetapi, sekali-kali nggak apa-apa lah ya, memikirkan rencana masa depan. Toh suatu saat kita akan mengalaminya. Ya kan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar